Tebo | TiraiNusantara – Tim investigasi beberapa jumlah Media turun kelapangan mendapatkan informasi dari masyarakat yang terdampak Lingkungannya terkait PETI yg sudah merusak, Tanah Beserta Air Sungai SISIP yang cukup terkenal tempat pertambangan Di wilayah Kecamatan VII Koto Ulu Desa Teluk Kayu Putih.
Maraknya pertambangan dan pembiaran ini diduga ada aparat yang mem Back up ilegal mining dengan meminta setoran wajib/ bulanan, dikarenakan Adanya pembiaran dari pihak berwenang atau aparat penegak hukum (APH).
Kurangnya fasilitasi perizinan sehingga mengkibatkan potensi alam dikawasan wilayah kabupaten Tebo semakin hancur,
pembiaran pertambangan ilegal mining oleh aparat penegak hukum(APH) diduga adanya penjelasan dari salah satu Mafia Peti yang inisial (MN).
" Setiap Rakit/Mesin sudah Atensi dengan APH terkait untuk mengback-up pekerjaan ilegal mining dengan adanya Setoran bulanan kami kepada APH VIIKOTO Ulu. Kami Terhindar dari Penegasan Hukum sepanjang Pekerjaan kami
Ujar Dari Pengusaha serta Pekerja yang saat di wawancara oleh beberapa Awak Media langsung di TKP.
Saat di konfirmasi ke salah satu Pemilik/pekerja tambang, sebutkan saja namanya (MD),ia mengatakan, " memang kami setiap pekerja tambang yang menggunakan Dompeng Rakit/membayar bulanan ke salah satu Anggota APH VII Koto,yang mana setiap Dompeng di kenakan RP.500,000/Bulan dari setiap Dompeng yang sudah di Data langsung oleh Pengurus," ungkap pekerja PETI tersebut
Hal terpisah diungkapkan Dinas lingkungan hidup(DLH) Kabupaten Tebo, saat di Konfirmasi dari beberapa media mengatakan, perizinan tambang rakyat saat ini masih sulit karena belum optimalnya komitmen dari pemerintah daerah dalam menetapkan Perda Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
“Maraknya aktivitas PETI diwilayah Teluk Kayu Putih, curi kesempatan oleh oknum- oknum tertentu, melakukan upaya kesempatan mengambil ke untungan untuk kepentingan pribadi dari pengusaha tambang ilegal mining,sehingga terkesan adanya pembiaran terhadap PETI.
Dari sisi Regulasi, PETI melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal 158 UU tersebut, disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000.
Dari sisi lingkungan, PETI akan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, merusak hutan apabila berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana lingkungan, mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air.
Pada umumnya lahan bekas PETI dengan metode tambang terbuka yang sudah tidak beroperasi meninggalkan void dan genangan air sehingga lahan tersebut tidak dapat lagi dimanfaatkan dengan baik. Seluruh kegiatan PETI tidak memiliki fasilitas pengolahan air asam tambang. (Team).